Blogger templates

Senin, 13 Februari 2012

CERITA TENTANG JALAN



Jalan : Satu

Alkisah, ada seorang anak yang bertanya pada ibunya, "Ibu, temanku tadi cerita kalau ibunya selalu membiarkan tangannya sendiri digigit nyamuk sampai nyamuk itu kenyang supaya ia tak menggigit temanku. Apa ibu juga akan berbuat yang sama?"
Sang ibu tertawa dan menjawab terus terang, "Tidak. Tapi, Ibu akan mengejar setiap nyampuk sepanjang malam supaya tidak sempat menggigit kamu atau keluarga kita."Mendengar jawaban itu, si anak tersenyum dan kembali meneruskan kegiatan bermainnya. Tak berapa lama kemudian, si anak kembali berpaling pada ibunya. Ternyata mendadak ia teringat sesuatu. "Terus Bu, aku waktu itu pernah dengar cerita ada ibu yang rela tidak makan supaya anak-anaknya bisa makan kenyang. Kalau ibu bagaimana?" Anak itu mengajukan pertanyaan yang hampir sama.

Kali ini sang Ibu menjawab dengan suara lebih tegas, "Ibu akan bekerja keras agar kita semua bisa makan sampai kenyang. Jadi, kamu tidak harus sulit menelan karena melihat ibumu menahan lapar."

Si anak kembali tersenyum, dan lalu memeluk ibunya dengan penuh sayang. "Makasih, Ibu. Aku bisa selalu bersandar pada Ibu."

Sembari mengusap-usap rambut anaknya, sang Ibu membalas, "Tidak, Nak! Tapi Ibu akan mendidikmu supaya bisa berdiri kokoh di atas kakimu sendiri, agar kamu nantinya tidak sampai jatuh tersungkur ketika Ibu sudah tidak ada lagi di sisimu. Karena tidak selamanya ibu bisa mendampingimu."

Ada berapa banyak orangtua di antara kita yang sering kali merasa rela berkorban diri demi sang buah hati? Tidak sadarkah kita bahwa sikap seperti itu bisa menumpulkan mental pemberani si anak?

Jadi, adalah bijak bila semua orangtua tidak hanya menjadikan dirinya tempat bersandar bagi buah hati mereka, melainkan juga membuat sandaran itu tidak lagi diperlukan di kemudian hari. Adalah bijak jika para orangtua membentuk anak-anaknya sebagai pribadi mandiri kelak di saat orangtua itu sendiri tidak bisa lagi mendampingi anak-anaknya di dunia.

Jalan : Kedua

Apakah Anda teringat masa kecil ketika di tanya oleh guru Anda.. "Apakah cita-citamu, anak-anak?"

Sontak secara serempak, ada yang mengangkat tangan dan percaya diri mengatakan,"Saya ingin menjadi dokter".
Anak yang lain pun seakan tidak mau kalah mengatakan,"Saya ingin menjadi presiden"
Begitu juga anak-anak lainnya "Saya ingin menjadi pilot.. menjadi seperti papa atau mama dan lainnya"

Sungguh luar biasa antusiasme dari anak-anak bukan?

Namun sayangnya... 
Seiring bertambah umur, kita semakin lupa akan antusiasme tersebut.
Mimpi dan impian semakin menjadi kabur karena kesibukan dan tanggung jawab.

Sebetulnya.. Itu hanyalah ALASAN.

Ketika Anda memiliki sebuah keinginan yang kuat untuk mewujudkan impian Anda maka tidak ada sesuatupun yang akan menghalangi Anda mencapai impian Anda.

Yang terpenting adalah Anda harus TAKE ACTION.

Setiap langkah Anda meski kecil sekalipun dapat membuat Anda semakin dekat dengan impian Anda.
Jikalau impian Anda terlihat jauh saat ini, mulailah dengan langkah yang kecil terlebih dahulu.

Siapkah Anda melangkah mulai dari hari ini?

Inilah tangga-tangga Take Action:
Tangga #1: Saya tidak akan melakukannya.
Tangga #2: Saya tidak dapat melakukannya.
Tangga #3: Saya mau melakukannya.
Tangga #4: Bagaimana cara melakukannya?
Tangga #5: Saya akan mencoba melakukannya.
Tangga #6: Saya dapat melakukannya.
Tangga #7: Saya akan melakukannya.
Tangga #8: Ya, saya telah melakukannya.

Jalan : Ketiga


Confusius berkata:
"Kita boleh berbuat apa saja semau kita, seumur hidup kita: mencuri, menyiksa, menipu, berjudi....
Pokoknya, apa saja!"

Salah seorang muridnya bertanya, "Master, kok enak sekali ya. Tapi, apakah ada syaratnya?"

Confusius menjawab, "Syaratnya sangat ringan kok.

Kalian boleh berbuat jahat seumur hidup kalian, tetapi cukup SATU HARI saja sebelum meninggal dunia, jadilah orang baik!"

Murid yang lain segera menanggapi, "Tapi Master! Kita kan tidak tahu, kapan kita akan meninggal dunia?"

Lebih lanjut Confusius mengatakan, "Oleh krn itu anggaplah BESOK kamu akan meninggal dunia. Jadilah orang baik hari ini..!! Mudah bukan? Jalanilah.."

Jalan : Keempat.

Bagaimana kami tahu bahwa cinta kami cukup dalam untuk menghantar kami ke arah berdampingan seumur hidup, menuju kepada kesetiaan yang sempurna? Bagaimana kami dapat yakin bahwa cinta kami ini cukup matang untuk diikat sumpah nikah serta janji untuk berdampingan seumur hidup sampai maut memisahkan?

Pertama, Ujian untuk merasakan sesuatu bersama.
Cinta sejati ingin merasakan bersama, memberi, mengulurkan tangan. Cinta sejati memikirkan pihak yang lainnya, bukan memikirkan diri sendiri. Jika kalian membaca sesuatu, pernahkah kalian berpikir, aku ingin membagi ini bersama sahabatku? Jika kalian merencanakan sesuatu, adakah kalian hanya berpikir tentang apa yang ingin kalian lakukan, ataukah apa yang akan menyenangkan pihak lain? Sebagaimana Herman Oeser, seorang penulis Jerman pernah mengatakan, "Mereka yang ingin bahagia sendiri,janganlah kawin. Karena yang penting dalam perkawinan ialah mem buat pihak yang lain bahagia. - mereka yang ingin dimengerti pihak yang lain, jangan lah kawin. Karena yang penting di sini ialah mengerti pasangannya.

" Maka batu ujian yang pertama ialah:
"Apakah kita bisa sama-sama merasakan sesuatu? Apakah aku ingin menjadi bahagia atau membuat pihak yang lain bahagia?"

Kedua, Ujian kekuatan.
Saya pernah menerima surat dari seorang yang jatuh cinta, tapi sedang risau hatinya. Dia pernah membaca entah di mana, bahwa berat badan seseorang akan berkurang kalau orang itu betul-betul jatuh cinta.
Meskipun dia sendiri mencurahkan segala perasaan cintanya, dia tidak kehilangan berat badannya dan inilah yang merisaukan hatinya. Memang benar, bahwa pengalam an cinta itu juga bisa mempengaruhi keadaan jasmani. Tapi dalam jangka panjang cinta sejati tidak akan menghilangkan kekuatan kalian; bahkan sebaliknya akan memberikan kekuatan dan tenaga baru pada kalian. Cinta akan memenuhi kalian dengan kegembiraan serta membuat kalian kreaktif, dan ingin menghasilkan lebih banyak lagi.

Batu ujian kedua :
"Apakah cinta kita memberi kekuatan baru dan memenuhi kita dengan tenaga kreaktif, ataukah cinta kita justru menghilangkan kekuatan dan tenaga kita?"

Ketiga, Ujian penghargaan.
Cinta sejati berarti juga menjunjung tinggi pihak yang lain. Seorang gadis mungkin mengagumi seorang jejaka, ketika ia melihatnya bermain bola dan mencetak banyak gol. Tapi jika ia bertanya pada diri sendiri, "apakah aku mengingini dia sebagai ayah dari anak-anakku?", jawabnya sering sekali menjadi negatif. Seorang pemuda mungkin mengagumi seorang gadis, yang dilihatnya sedang berdansa. Tapi sewaktu ia berta nya pada diri sendiri, "apakah aku mengingini dia sebagai ibu dari anak- anakku?", gadis tadi mungkin akan berubah dalam pandangannya.

Pertanyaannya ialah:
"Apakah kita benar-benar sudah punya penghargaan yang tinggi satu kepada yang lainnya? Apa aku bangga atas pasanganku?"

Keempat, Ujian kebiasaan.
Pada suatu hari seorang gadis Eropa yang sudah bertunangan datang pada saya. Dia sangat risau, "Aku sangat mencintai tunanganku," katanya, "tapi aku tak tahan caranya dia makan apel." Gelak tawa penuh pengertian memenuhi ruangan. "Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya. Jangan kawin berdasarkan paham cicilan, lalu mengira bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan berubah di kemudian hari. Kemungkinan besar itu takkan terjadi. Kalian harus menerima pasanganmu sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan dan kekurangannya.

Pertanyaannya:
"Apakah kita hanya saling mencintai atau juga saling menyukai?"

Kelima, Ujian pertengkaran.
Bilamana sepasang muda mudi datang mengatakan ingin kawin, saya selalu menanya kan mereka, apakah mereka pernah sesekali benar-benar bertengkar - tidak hanya berupa perbedaan pendapat yang kecil, tetapi benar-benar bagaikan berperang. Seringkali mereka menjawab, "Ah, belum pernah, pak, kami saling mencintai." Saya katakan kepada mereka, "Bertengkarlah dahulu - barulah akan kukawinkan kalian." Persoalannya tentulah, bukan pertengkarannya, tapi kesanggupan untuk saling berda mai lagi. Kemampuan ini mesti dilatih dan diuji sebelum kawin. Bukan seks, tapi batu ujian pertengkaranlah yang merupakan pengalaman yang "dibutuhkan" sebelum kawin.

Pertanyaannya:
"Bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?"

Keenam, Ujian waktu.
Sepasang muda mudi datang kepada saya untuk dikawinkan. "Sudah berapa lama kalian saling mencintai?" Tanya saya. "Sudah tiga, hampir empat minggu," jawab mereka. Ini terlalu singkat. Menurut saya minimum satu tahun bolehlah. Dua tahun lebih baik lagi. Ada baiknya untuk saling bertemu, bukan saja pada hari-hari libur atau hari minggu dengan berpakaian rapih, tapi juga pada saat bekerja di dalam hidup sehari-hari, waktu belum rapi, atau cukur, masih mengenakan kaos oblong, belum cuci muka, rambut masih awut-awutan, dalam suasana yang tegang atau berbahaya. Ada suatu peribahasa kuno, "Jangan kawin sebelum mengalami musim panas dan musim dingin bersama dengan pasanganmu." Sekiranya kalian ragu-ragu tentang perasaan cintamu, sang waktu akan memberi kepastian.

Tanyakan:
"Apakah cinta kita telah melewati musim panas dan musim dingin? Sudah cukup lamakah kita saling mengenal?"
Dan izinkan saya memberikan suatu kesimpulan yang gamblang. Seks bukan batu ujian bagi cinta.
"Jika sepasang muda mudi ingin punya hubungan seksual untuk mengetahui apakah mereka saling mencintai, perlu ditanyakan pada mereka, "Demikian kecilnya cinta kalian?" Jika kedua-duanya berpikir, "Nanti malam kita mesti melakukan seks - kalau tidak pasanganku akan mengira bahwa aku tidak mencintai dia atau bahwa dia tidak mencintai aku," maka rasa takut akan kemungkinan gagal sudah cukup menghalau keberhasilan percobaan itu. Seks bukan suatu batu ujian bagi cinta, sebab seks akan musnah saat diuji. Cobalah adakan observasi atas diri saudara sendiri pada waktu saudara pergi tidur. Saudara mengobservasi diri sendiri, kemudian tidak bisa tidur. Atau saudara tidur, kemudian tidak lagi bisa mengobservasi diri sendiri. Sama benar halnya dengan seks sebagai suatu batu ujian untuk cinta. Saudara menguji, sesudah itu tidak lagi mau mencintai. Atau saudara mencintai, kemudian tidak menguji. Untuk kepentingan cinta itu sendiri, cinta perlu mengekang menyatakan dirinya secara jasmaniah sampai bisa dimasukkan ke dalam dinamika segitiga perkawinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar