Blogger templates

Kamis, 09 Agustus 2012

Saya paling mudah mabuk laut. Karena itu saya selalu berkelit kalau diajak panto, Crew barge BB13 memancing. Membayangkan diombang-ambing ombak saja sudah membuat pening dan mual. Karena itu saya selalu mencari alasan kalau diajak memancing. Sampai suatu saat saya tidak bisa berkelit. Maka bersama sejumlah teman, kami memancing di laut lepas dekat Pulau sembilan.
Setelah sekian jam berpindah-pindah lokasi tanpa hasil, saya mulai mabuk. Saya berdoa semoga Panto bosan dan mengajak kembali ke darat. Mungkin karena jarang berdoa, Tuhan juga cuek. Tidak ada tanda-tanda penderitaan bakal berakhir. Tiba-tiba terdengar teriakan. Umpan yang dilempar ke laut dimakan ikan. Begitu pancing ditarik, sejumlah kakap merah menyembul. Bukan Cuma satu, tapi empat atau lima sekaligus. Dalam satu tali pancing memang dipasang empat sampai lima mata kail. Seumur hidup saya belum pernah menyaksikan betapa mudahnya mendapat ikan.
Setiap kail ditarik, empat sampai lima ekor kakap merah tersangkut. Begitu seterusnya tanpa henti. Seakan di bawah sana sedang ada pesta. Semua ikan kumpul jadi satu. Dalam waktu singkat kapal sarat dengan ikan. Semua seperti kesetanan. Saya jadi ikut kesetanan. Mabuk pun hilang. ”Stop! Stop! Cukup!,” terdengar suara Panto. Sebagian berhenti, sebagian tetap kesetanan. ”Cukup, cukup,” Panto mencoba mengingatkan. ”Biarkan ikan yang lain tinggal dan berkembang biak lagi. Masih ada hari lain. Jangan serakah.” Baru-baru ini, istri tetangga saya mempersoalkan susu anak yang menghilang dari pasar. Dengan enteng saya bilang ganti dengan merek lain.
Tapi, sekian tahun terbiasa dengan satu produk, tidak mudah bagi anak tetangga saya pindah ke lain hati. Maka, terpaksalah mereka berdua berburu susu dari satu supermarket ke hypermarket. Termasuk toko-toko kecil diubek-ubek. Akhirnya mereka menemukan susu brengsek itu di sebuah toko grosir di Bintaro. Produk yang ada sisa 16 kaleng. Anak tetangga saya memaksa agar istri saya memborong susu langka itu semuanya. Tapi istri tetangga saya menjelaskan bahwa pasti ada ibu-ibu lain yang juga membutuhkan. Maka dia hanya membeli separuhnya. Namun ketika persediaan hampir habis, lagi-lagi sulit mendapatkan susu tersebut. Si kecil mulai mempersoalkan keputusan ibunya dulu yang hanya membeli separuh. Maka perburuan dimulai lagi.
Sampai suatu pagi, dengan wajah berseri, istri tetangga saya mengatakan problem sudah terpecahkan. Seorang distributor akan membantu. Ceritanya, dalam perburuan itu istri tetangga saya akhirnya menelepon ke produsen susu tersebut. Menurut produsen, merek tersebut memang tidak diproduksi lagi karena akan diganti dengan yang baru. Mereka meminta istri saya menghubungi distributor besar mereka. Tapi ternyata distributor itu sudah tidak punya stok. Mereka menganjurkan agar istri saya menghubungi distributor kecil. Istri saya mengejar terus.
Ketika menelepon distributor yang dimaksud, seorang pria di ujung telepon meminta maaf karena stok mereka juga sudah habis. Namun sebelum telepon ditutup, dia bertanya mengapa istri saya begitu gigih mengejar susu tersebut. Bukankah bisa cari susu lain? Istri tetangga  saya lalu bercerita tentang perburuan susu itu, termasuk keputusannya untuk tidak memborong habis persediaan susu waktu itu dengan pertimbangan ada ibu-ibu lain yang pasti juga membutuhkan susu itu.
Di luar dugaan, pria itu -- yang belakangan diketahui adalah pimpinan perusahaan distribusi tersebut -- mengaku tersentuh oleh cerita istri saya. ”Jaman sekarang jarang ada orang yang masih mau mempertimbangkan kepentingan orang lain,” ujarnya. Dia lalu berjanji membantu mencarikan susu tersebut. Tak sampai satu jam, telepon istri saya berdering. ”Bu, saya sudah dapat. Mau berapa banyak juga bisa,” ujarnya gembira. Ternyata susu itu dia temukan di Lampung! ”Dalam dua hari susu sudah sampai di Jakarta. Biaya pengiriman jangan dipikirkan. Saya yang tanggung,” ujarnya. Mendengar cerita itu saya justru berbalik tidak percaya.
Di jaman seperti ini kok masih ada orang yang mau bersusah payah ikut mencari susu apalagi sampai ke Lampung. Kalau waktu itu dia bilang stok habis, urusan selesai. Kenapa harus repot? Ketika Panto meminta kami untuk berhenti memancing, sebagian besar merasa kecewa. Bayangkan, ketika ikan begitu mudah dipancing, kami disuruh berhenti. Begitu juga ketika susu sulit didapat, sementara di rak ada 16 kaleng, istri tetangga saya hanya membeli separuhnya. Pada waktu itu saya juga kecewa pada keputusan istri tetangga saya. Dari dua kisah di atas, saya kembali diingatkan untuk belajar. Belajar mengendalikan hawa nafsu. Berhentilah makan sebelum kenyang. Makan secukupnya. Jangan serakah. Pesan moral dari kitab suci itu tampaknya mudah diucapkan, tapi susah diterapkan. Karena itu, kita perlu saling mengingatkan.