Saya paling mudah mabuk laut. Karena itu saya selalu berkelit kalau
diajak panto, Crew barge BB13 memancing. Membayangkan
diombang-ambing ombak saja sudah membuat pening dan mual. Karena itu
saya selalu mencari alasan kalau diajak memancing. Sampai suatu saat
saya tidak bisa berkelit. Maka bersama sejumlah teman, kami memancing di
laut lepas dekat Pulau sembilan.
Setelah sekian jam berpindah-pindah lokasi tanpa hasil, saya mulai
mabuk. Saya berdoa semoga Panto bosan dan mengajak kembali ke
darat. Mungkin karena jarang berdoa, Tuhan juga cuek. Tidak ada
tanda-tanda penderitaan bakal berakhir. Tiba-tiba terdengar teriakan.
Umpan yang dilempar ke laut dimakan ikan. Begitu pancing ditarik,
sejumlah kakap merah menyembul. Bukan Cuma satu, tapi empat atau lima
sekaligus. Dalam satu tali pancing memang dipasang empat sampai lima
mata kail. Seumur hidup saya belum pernah menyaksikan betapa mudahnya
mendapat ikan.
Setiap kail ditarik, empat sampai lima ekor kakap merah tersangkut.
Begitu seterusnya tanpa henti. Seakan di bawah sana sedang ada pesta.
Semua ikan kumpul jadi satu. Dalam waktu singkat kapal sarat dengan
ikan. Semua seperti kesetanan. Saya jadi ikut kesetanan. Mabuk pun
hilang. ”Stop! Stop! Cukup!,” terdengar suara Panto. Sebagian
berhenti, sebagian tetap kesetanan. ”Cukup, cukup,” Panto mencoba
mengingatkan. ”Biarkan ikan yang lain tinggal dan berkembang biak lagi.
Masih ada hari lain. Jangan serakah.” Baru-baru ini, istri tetangga saya
mempersoalkan susu anak yang menghilang dari pasar. Dengan enteng saya
bilang ganti dengan merek lain.
Tapi, sekian tahun terbiasa dengan satu produk, tidak mudah bagi anak
tetangga saya pindah ke lain hati. Maka, terpaksalah mereka berdua berburu susu
dari satu supermarket ke hypermarket. Termasuk toko-toko kecil
diubek-ubek. Akhirnya mereka menemukan susu brengsek itu di sebuah toko
grosir di Bintaro. Produk yang ada sisa 16 kaleng. Anak tetangga saya memaksa
agar istri saya memborong susu langka itu semuanya. Tapi istri tetangga saya
menjelaskan bahwa pasti ada ibu-ibu lain yang juga membutuhkan. Maka dia
hanya membeli separuhnya. Namun ketika persediaan hampir habis,
lagi-lagi sulit mendapatkan susu tersebut. Si kecil mulai mempersoalkan
keputusan ibunya dulu yang hanya membeli separuh. Maka perburuan dimulai
lagi.
Sampai suatu pagi, dengan wajah berseri, istri tetangga saya mengatakan
problem sudah terpecahkan. Seorang distributor akan membantu. Ceritanya,
dalam perburuan itu istri tetangga saya akhirnya menelepon ke produsen susu
tersebut. Menurut produsen, merek tersebut memang tidak diproduksi lagi
karena akan diganti dengan yang baru. Mereka meminta istri saya
menghubungi distributor besar mereka. Tapi ternyata distributor itu
sudah tidak punya stok. Mereka menganjurkan agar istri saya menghubungi
distributor kecil. Istri saya mengejar terus.
Ketika menelepon distributor yang dimaksud, seorang pria di ujung
telepon meminta maaf karena stok mereka juga sudah habis. Namun sebelum
telepon ditutup, dia bertanya mengapa istri saya begitu gigih mengejar
susu tersebut. Bukankah bisa cari susu lain? Istri tetangga saya lalu bercerita
tentang perburuan susu itu, termasuk keputusannya untuk tidak memborong
habis persediaan susu waktu itu dengan pertimbangan ada ibu-ibu lain
yang pasti juga membutuhkan susu itu.
Di luar dugaan, pria itu -- yang belakangan diketahui adalah
pimpinan perusahaan distribusi tersebut -- mengaku tersentuh oleh cerita
istri saya. ”Jaman sekarang jarang ada orang yang masih mau
mempertimbangkan kepentingan orang lain,” ujarnya. Dia lalu berjanji
membantu mencarikan susu tersebut. Tak sampai satu jam, telepon istri
saya berdering. ”Bu, saya sudah dapat. Mau berapa banyak juga bisa,”
ujarnya gembira. Ternyata susu itu dia temukan di Lampung! ”Dalam dua
hari susu sudah sampai di Jakarta. Biaya pengiriman jangan dipikirkan.
Saya yang tanggung,” ujarnya. Mendengar cerita itu saya justru berbalik
tidak percaya.
Di jaman seperti ini kok masih ada orang yang mau bersusah payah ikut
mencari susu apalagi sampai ke Lampung. Kalau waktu itu dia bilang stok
habis, urusan selesai. Kenapa harus repot? Ketika Panto meminta
kami untuk berhenti memancing, sebagian besar merasa kecewa. Bayangkan,
ketika ikan begitu mudah dipancing, kami disuruh berhenti. Begitu juga
ketika susu sulit didapat, sementara di rak ada 16 kaleng, istri tetangga saya
hanya membeli separuhnya. Pada waktu itu saya juga kecewa pada keputusan
istri tetangga saya. Dari dua kisah di atas, saya kembali diingatkan untuk belajar.
Belajar mengendalikan hawa nafsu. Berhentilah makan sebelum kenyang.
Makan secukupnya. Jangan serakah. Pesan moral dari kitab suci itu
tampaknya mudah diucapkan, tapi susah diterapkan. Karena itu, kita perlu
saling mengingatkan.